Jumat, 13 April 2012

Tak Lagi Percaya Pers Amerika

Mikhail Gorbachev, 77 tahun, pemenang Nobel Perdamaian 1990, juga kecewa pada pers Amerika. Presiden dan Sekjen Partai Komunis Uni Soviet terakhir itu berpendapat Rusia sesungguhnya tak menginginkan perang.

Rusia terpaksa mengerahkan kekuatan karena serangan yang diperintahkan Presiden Mikheil Saakashvili itu. Dalam tulisan di The New York Times, 20 Agustus 2008, Gorbachev menyebutkan tak mungkin Saakashvili berani berperang tanpa dukungan luar. Adalah jelas bahwa Barat melatih dan mempersenjatai pasukan Georgia, menyebabkan kawasan itu tertekan untuk menyelesaikan masalah dengan perang daripada damai.

Sudah begitu, menurut Gorbachev, melalui pers Amerika, Rusia dipropagandakan sebagai pihak yang memperburuk keadaan. "Liputan berita jauh dari fair dan berimbang, terutama di hari-hari pertama krisis. Kota Tskhinvali terbakar, ribuan penduduk mengungsi, sampai tentara Rusia datang menolong. Tapi Rusia malah dituduh melakukan agresi dan liputan pers dipenuhi pernyataan tipuan dari pemimpin Georgia," tulis Gorbachev.

Sayang, baru sekarang Gorbachev merasakan bahwa pers bebas itu cuma mitos. Perestroika (reformasi) dan glasnost (kebebasan) yang diperkenalkannya di pengujung 1980-an – dan jelas diambilnya dari Barat -- terbukti mendorong Uni Soviet pecah berkeping-keping. Memang untuk itu dia dipuja-puji oleh Barat, mendapat Nobel, menjadi Man of the Year, dan semacamnya.

Dibanding Gorbachev maka Olga Ivanova lebih beruntung. Ia cepat menyadari kekeliruannya memandang pers Amerika. Seperti ditulisnya tadi, sikap memihak pers Amerika Serikat dalam konflik Georgia, menyadarkan generasi muda Rusia yang selama ini menganggap Amerika adalah negeri kebenaran, bersih dari korupsi, dan memiliki kebebasan informasi.

Banyak anak muda Rusia – seperti Olga – pergi sekolah ke Amerika dan pulang ke Rusia dengan semangat ingin membangun demokrasi. "Sekarang saya ragu apakah mereka masih percaya laporan pers Amerika," tulis Olga.

Sebenarnya kalau saja Olga dan kawannya segenerasi tak silau memandang Amerika Serikat, mereka akan tahu betapa culas pers Amerika dalam perang Iraq, perang melawan terror, kasus penjara illegal Guantanamo, dan beberapa yang lain.

Menjelang penyerbuan Iraq tahun 2003, pers Amerika menggebu-gebu menjadi terompet Presiden Bush untuk meyakinkan rakyat Amerika dan masyarakat internasional bahwa Iraq berbahaya karena menyimpan senjata pemusnah massal dan memiliki hubungan dengan teroris Al-Qaeda. Seperti sama diketahui kemudian semuanya bohong dan rekayasa intelijen.

Semua keculasan pers Amerika dalam perang Iraq telah ditelanjangi wartawan Greg Mitchell di dalam buku So Wrong for So Long (Begitu Salah untuk Begitu Lama) yang terbit beberapa bulan lalu. Bagaimana pers – termasuk yang terkemuka semacam CNN, The New York Times, The Washington Post – ikut menyebar-luaskan berita bohong demi kepentingan pemerintah Bush.

Bagaimana wartawati terkenal Judith Miller menggebu-gebu menulis berita headline tentang senjata pemusnah massal Iraq di The New York Times, ternyata itu hanya isapan jempol demi kepentingan para politisi neo-konservatif di sekeliling Presiden Bush. Bagaimana pers mengecilkan korban tentara Amerika dan menutupi kekejaman mereka di Iraq.

Hal yang sama terjadi di Indonesia ketika massa Front Pembela Islam (FPI) bentrok dengan massa AKKBB (Aliansi Kebebasan dan Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan) di Monas beberapa waktu lalu. Pers beramai-ramai menggebuk FPI dan menuduhnya pelaku kekerasan nomor satu di Republik ini. Dalam kasus itu jelas pers berpihak.

Kekerasan di Republik ini terjadi di mana-mana dan penyebabnya bermacam-macam, mulai pertandingan sepakbola, pemilihan kepala daerah, sampai penyusunan calon legislatif. Massa pendukung Gus Dur, misalnya, dulu menebangi pohon ketika Gus Dur terancam dijatuhkan sebagai Presiden.

Kini mereka merusak kantor-kantor PKB pimpinan Muhaimin Iskandar yang mengalahkan kelompok Gus Dur di pengadilan. Tapi pers tak bersemangat menuduh mereka sebagai biang kekerasan sebagaimana FPI. Begitulah pers Indonesia mengidolakan pers Amerika Serikat. Maka di sini diperlukan Olga Ivanova. Maka seperti sudah terbukti berkali-kali pers bebas itu memang cuma mitos.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar