Mikhail Gorbachev, 77 tahun, pemenang Nobel Perdamaian 1990, juga kecewa
pada pers Amerika. Presiden dan Sekjen Partai Komunis Uni Soviet terakhir itu
berpendapat Rusia sesungguhnya tak menginginkan perang.
Rusia terpaksa
mengerahkan kekuatan karena serangan yang diperintahkan Presiden Mikheil
Saakashvili itu. Dalam tulisan di The New York Times, 20 Agustus 2008, Gorbachev
menyebutkan tak mungkin Saakashvili berani berperang tanpa dukungan luar. Adalah
jelas bahwa Barat melatih dan mempersenjatai pasukan Georgia, menyebabkan
kawasan itu tertekan untuk menyelesaikan masalah dengan perang daripada
damai.
Sudah begitu, menurut Gorbachev, melalui pers Amerika, Rusia
dipropagandakan sebagai pihak yang memperburuk keadaan. "Liputan berita jauh
dari fair dan berimbang, terutama di hari-hari pertama krisis. Kota Tskhinvali
terbakar, ribuan penduduk mengungsi, sampai tentara Rusia datang menolong. Tapi
Rusia malah dituduh melakukan agresi dan liputan pers dipenuhi pernyataan tipuan
dari pemimpin Georgia," tulis Gorbachev.
Sayang, baru sekarang Gorbachev
merasakan bahwa pers bebas itu cuma mitos. Perestroika (reformasi) dan glasnost
(kebebasan) yang diperkenalkannya di pengujung 1980-an – dan jelas diambilnya
dari Barat -- terbukti mendorong Uni Soviet pecah berkeping-keping. Memang untuk
itu dia dipuja-puji oleh Barat, mendapat Nobel, menjadi Man of the Year, dan
semacamnya.
Dibanding Gorbachev maka Olga Ivanova lebih beruntung. Ia
cepat menyadari kekeliruannya memandang pers Amerika. Seperti ditulisnya tadi,
sikap memihak pers Amerika Serikat dalam konflik Georgia, menyadarkan generasi
muda Rusia yang selama ini menganggap Amerika adalah negeri kebenaran, bersih
dari korupsi, dan memiliki kebebasan informasi.
Banyak anak muda Rusia –
seperti Olga – pergi sekolah ke Amerika dan pulang ke Rusia dengan semangat
ingin membangun demokrasi. "Sekarang saya ragu apakah mereka masih percaya
laporan pers Amerika," tulis Olga.
Sebenarnya kalau saja Olga dan
kawannya segenerasi tak silau memandang Amerika Serikat, mereka akan tahu betapa
culas pers Amerika dalam perang Iraq, perang melawan terror, kasus penjara
illegal Guantanamo, dan beberapa yang lain.
Menjelang penyerbuan Iraq
tahun 2003, pers Amerika menggebu-gebu menjadi terompet Presiden Bush untuk
meyakinkan rakyat Amerika dan masyarakat internasional bahwa Iraq berbahaya
karena menyimpan senjata pemusnah massal dan memiliki hubungan dengan teroris
Al-Qaeda. Seperti sama diketahui kemudian semuanya bohong dan rekayasa
intelijen.
Semua keculasan pers Amerika dalam perang Iraq telah ditelanjangi
wartawan Greg Mitchell di dalam buku So Wrong for So Long (Begitu
Salah untuk Begitu Lama) yang terbit beberapa bulan lalu. Bagaimana pers –
termasuk yang terkemuka semacam CNN, The New York Times, The Washington Post –
ikut menyebar-luaskan berita bohong demi kepentingan pemerintah
Bush.
Bagaimana wartawati terkenal Judith Miller menggebu-gebu
menulis berita headline tentang senjata pemusnah massal Iraq di The New York
Times, ternyata itu hanya isapan jempol demi kepentingan para politisi
neo-konservatif di sekeliling Presiden Bush. Bagaimana pers mengecilkan korban
tentara Amerika dan menutupi kekejaman mereka di Iraq.
Hal yang sama
terjadi di Indonesia ketika massa Front Pembela Islam (FPI) bentrok dengan massa
AKKBB (Aliansi Kebebasan dan Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan) di Monas
beberapa waktu lalu. Pers beramai-ramai menggebuk FPI dan menuduhnya pelaku
kekerasan nomor satu di Republik ini. Dalam kasus itu jelas pers
berpihak.
Kekerasan di Republik ini terjadi di mana-mana dan penyebabnya
bermacam-macam, mulai pertandingan sepakbola, pemilihan kepala daerah, sampai
penyusunan calon legislatif. Massa pendukung Gus Dur, misalnya, dulu menebangi
pohon ketika Gus Dur terancam dijatuhkan sebagai Presiden.
Kini mereka
merusak kantor-kantor PKB pimpinan Muhaimin Iskandar yang mengalahkan kelompok
Gus Dur di pengadilan. Tapi pers tak bersemangat menuduh mereka sebagai biang
kekerasan sebagaimana FPI. Begitulah pers Indonesia mengidolakan pers Amerika
Serikat. Maka di sini diperlukan Olga Ivanova. Maka seperti sudah terbukti
berkali-kali pers bebas itu memang cuma mitos.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar